Langit Tak Selamanya Biru
Oleh Nusrotul Bariyah (Anggota Agupena Jawa Tengah)
Engkaulah minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
(Iqbal, Javid Nama)1
Buku bertajuk cinta. Ah, buku itu begitu menarik hatiku. Apakah mungkin karena aku yang tengah dilanda cinta, ataukah aku yang sangat ingin mengerti hakikat dan makna cinta, dan mampu mendefinisikannya secara tertata. Ataukah aku yang ingin memiliki cinta dan memaknainya sebagai kata kerja, bukan kata benda, ataukah, aku yang sangat ingin menjadi pemuja cinta dalam bingkai cinta kepada-Nya? Mungkin aku perlu meminta fatwa pada hatiku, hingga nampaklah apa yang ada dalam hati dan fikiranku. Tapi sepertinya, semua itu adalah benar adanya. Tak pelak lagi, buku “Jalan Cinta Para Pejuang”, karya Salim A. Fillah, menjadibuku favorit yang menempati posisi wahid.
Cinta, sebuah kata kerja. Begitu Salim A. Fillah menorehkan tinta hitamnya pada salah satu lembar buku “Jalan Cinta Para Pejuang.” “Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justeru sedang melakukan sebuah “ pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: MENCINTAI.” Tutur Anis Matta. Kalimat itu dinukil oleh Salim A. fillah dengan begitu apiknya. Kalimat itu begitu menyentuh, dan merasuk di jiwa. Ingatanku melayang pada seorang sahabatku. Ialah Haira(bukan nama sebenarnya), seorang akhwat2 yang senantiasa menjaga hijabnya, yang mengambil jalan cinta dalam bingkai keridhoan-Nya, demi menemukan belahan jiwanya.
Bila seorang gadis telah meninggalkan masa remajanya dan memasuki usia dewasa, tentu terbersit keinginan untuk menyempurnakan separuh agamanya. Karena menikah adalah kebutuhan, menikah adalah tuntunan Rasul-Nya, dan menikah adalah jalancinta para pejuang-Nya. Namun, itu bukan perkara gampang. Butuh persiapan yang matang. Bila hati rindu menikah? Haira memang tengah rindu untuk segera bertemu. Rindu dengan sang arjuna yang kan menemaninya dalam suka dan duka. Perasaan rindu yang kian membuncah, membuatnya sibuk menyiapkan berbagai perbekalan pernikahan, agar semakin siap dirinya mengarungi bahtera rumah tangga. “Ana3 sudah siap menikah, Ukh4.“ Katanya mantap. Pernyataan itu ia lontarkan sekitar tiga tahun yang lalu.
♥♥♥
Pertengahan tahun 2008
“Insya Allah, akan ana proseskan, Anti sabar nggih. Dan Anti harus siap dengan segala resikonya, termasuk resiko ditolak. Bagaimana?” Begitu kata guru ngajinya.Ketika Haira mulai disibukkan dengan tugas akhirnya, ia menyampaikan keinginannya untuk menikah kepada guru ngajinya. Tidak hanya keinginan yang ia sampaikan, namun, ia juga menyebutkan nama seorang ikhwan2 yang sempat mengusik hatinya, dan memohon pertolongan sang guru ngaji untuk memproseskannya.
“Insya Allah, Ana siap, Ummu6.” Jawab Haira mantap kepada Ummu, guru ngajinya.
Ah, sungguh Haira telah mengamalkan apa yang telah dilakukan oleh ibunda Khodijah, sang wanita mulia, pendamping Rasulullah. Ibunda Khodijah yang mengawali mengambil inisiatif untuk menjadikan Muhammad sebagai suaminya. Ada rasa khawatir yang bergejolak, kalaulah Muhammad menolaknya. Namun, Muhammad, sang teladan kita, ternyata menyambut hangat keinginan ibunda Khadijah. Jadilah mereka sepasang suami istri yang menjadi teladan bagi kita semua.
Tak banyak akhwat yang berani melakukan hal serupa. Pamali katanya. Apalagi dengan kondisi psikologi wanita yang secara umum tak sekuat pria. Namun, Haira membantahnya. Ia yakin, yang dilakukannya tidak menyalahi syariat, apalagi pernah dicontohkan oleh Ibunda Khadijah.
“‘Afwan, Haira, kami sudah menghubungi ikhwannya, dan ternyata ikhwannya belum siap menikah. Anti yang sabar ya, mudah-mudahan Allah memberi ganti dengan yang lebih baik.” Ummu mengabari Haira, setelah sekitar satu bulan lamanya Haira menunggu.
Mungkin terasa pilu bagi Haira, namun ia harus menerima kenyataan pahit itu. Ah, masih ada harapan, pikirnya saat itu. Selang beberapa bulan setelah itu, ia mendapatkan kabar bahwa sang ikhwan menikah dengan seorang akhwat. Ironis, sang akhwat adalah teman dekatnya.
“ …Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Tahu, sedang kamu tidak tahu.” 7
Awal Tahun 2010
“Anti menerima tawaran itu, Ukh?” tanyaku memastikan, saat Haira menceritakan perihal tawaran ta’aruf5 yang ia terima.
“Iya, ukh. Ana tidak mau melepaskan kesempatan yang datang, karena kesempatan itu datangnya cuma satu kali. Lagian, apa salahnya mencoba, Ukh. Toh, kita tidak tahu siapa jodoh kita.”Jawabnya enteng.
“Guru ngaji Ana sudah tahu, kok. Dan beliau bukan tipikal orang yang strenght, semua tidak harus lewat beliau. Yang penting, ikhwan yang akan dita’arufkan itu shalih, baik agama dan akhlaknya, syukur-syukur satu fikrah. Itu saja. Dan darimanapun asal tawaran itu, tak masalah bagi beliau. “ Jawab Haira panjang lebar.
“Hari tak selamanya malam, hujan tak selamanya bertandang, dan badai tak kan selamanya menghadang.“ Haira menghibur diri sendiri. Ah, bukanlah seorang Haira jika ia tak mampu memotivasi diri sendiri.Apa yang terjadi padamu di kemudian hari, Haira? Ah, lagi-lagi ikhwan itu menolakmu. Sang ikhwan hanya mengucapkan sederet kalimat: ”Ana belum siap mendampingi selevel ustadzah.” Kali ini Haira hanya menimpali dengan seutas senyum. Mungkin, penolakan demi penolakan, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, yang telah dialami Haira, membuat hatinya semakin kuat dan rapat, hingga tak mudah baginya tuk menitikkan air mata, dan tak membiarkan kesedihan mendera.
Akhir Bulan Kedua Tahun 2010
Haira menerima tawaran ta’aruf dari seorang Ummahat. Ia pun langsung menerimanya. Ah, Haira, tidakkah kau merasa lelah menjalaninya. Batinku saat itu. Haira begitu bahagia nampaknya. Katanya, wajah sang ikhwan begitu mirip dengan kakak nomor duanya. Bahkan tanggal dan bulan lahirnya, sama dengan tanggal dan bulan lahir adiknya. “Sepertinya kami berjodoh.“ Kata Haira saat itu. Haira bertambah berbahagia, saat sang ikhwan telah menyatakan kemantapannya untuk nazhar. Semoga ini yang terbaik bagimu, Haira. Doaku ketika itu.
“Setelah melalui berbagai pertimbangan keluarga selama beberapa hari ini, dengan berat hati, ana tidak bisa melanjutkan ta’aruf dengan ukhti. Semoga Ukhti mendapatkan ikhwan yang lebih baik dunia dan akhiratnya.” Haira menunjukkan sms kepadaku, sms yang dikirimkan oleh sang ikhwan melalui sang Ummahat, pasca nazhar7.
“Sabar, ya Ukh..” kataku menghiburnya.
“Iya, Ukh, Insya Allah Ana bersabar.” Haira tak bisa menutupi kesedihannya. Matanya tak kuasa menahan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Ukh, untuk melihat bintang, mungkin kadang kita harus lalui gelapnya malam, untuk melihat pelangi, kita harus lewati derasnya hujan, bahkan menerobos badai yang menghadang. Aku yakin, suatu saat, Aku akan menuai keberhasilan yang gilang gemilang, meskipun sekarang aku harus menelan kepahitan.” Lanjut Haira, menghibur diri.
Bulan Kelima Tahun 2010
Haira kembali menerima tawaran berta’aruf dari seorang Ummahat. Semua telah sama-sama mantap akan data calon pasangan. Namun, di tengah perjalanan, Haira menyatakan mundur. Ada apakah ini, Haira?!
“Ikhwan itu terbukti berta’aruf dengan lebih dari satu akhwat, Ukh. Dan sekarang, ia akan melanjutkan ke proses khitbah dengan akhwat lain.” Haira kembali tergugu. Memang pilu. Kesedihan itu wajar, sangat manusiawi. Nikmatilah kesedihanmu, Haira, jika itu membuatmu lega. Batinku.
“Bersabarlah Haira, tak ada hal sekecil apapun yang lepas dari pengawasan dan skenario Allah. Allah tengah mempersiapkan jodoh terbaik buatmu. “ Hiburku padanya.
Bukan kita yang memilih takdir, takdirlah yang memilih kita. Bagaimanapun, takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang tepat. (Shalahuddin Al Ayyubi)8
Bulan Kesembilan Tahun 2010
Perjalanan panjang mencari sang pria idaman belum berhenti. Tiap kali ada tawaran datang, ia selalu menyambutnya dengan suka cita. Tak ada rasa takut tuk menghadapi kegagalan, walaupun hasilnya tak sesuai harapan, dan dengan perjalanan kisah yang tak kalah memilukan. Kegagalan demi kegagalan yang telah dialaminya membuatnya tak patah arang. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Begitu katanya.
“Anti tak mencoba berta’aruf dengan ikhwan yang mengusik hatimu selama ini, Haira?” tanyaku suatu ketika.
“Sepertinya beliau belum siap menikah, Ukh.”Jawab Haira ragu.
“Kenapa tidak dicoba, Ukh? Toh, Anti dekat dengan adiknya. Sudah satu tahun ini, lho, Anti memendam perasaan itu. Dan sepertinya, ikhwan itu juga memiliki perasaan yang sama. Itu ana lihat dari gelagat ikhwan itu kepadamu. Sampaikan saja keinginan Anti pada adiknya, Ukh. Siapa tahu jodoh. Ya, daripada Anti berproses, tapi tidak mendapatkan hasil sampai sekarang. Iya, kan?!” Saranku ketika itu. Dan sepertinya Haira menanggapi saranku dengan serius.
Haira, meskipun ia memendam perasaan simpati dengan seorang ikhwan, namun itu tak membuatnya menutup diri. Karena yang ia inginkan adalah menikah, dengan ikhwan manapun, yang baik agama dan akhlaknya, dan bukan untuk memiliki ikhwan yang diidamkannya. Terkadang, kebanyakan wanita zaman sekarang, hanya ingin menikah dengan lelaki yang diidamkannya, sehingga ia menutup diri untuk lelaki lain yang datang kepadanya. Padahal lelaki itu baik secara agama dan akhlaknya.
“Ukh, ana tidak menyangka sama sekali, ternyata ikhwan yang selama ini mengusik hati ana, telah menolak ana dua kali. Adiknya pernah dua kali menawarkan ana kepada ikhwan itu, dan dua kali pula, ikhwan itu langsung menolak ana, tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu, Ukh.” Berderai air mata Haira. Walau kau menangis, walau kau merasa sedih, bagiku kau sangat tabah, Haira. Tangisan hanyalah luapan emosi sesaat, kesedihan hanyalah reaksi sekejap. Hatimu begitu tegar dan tabah menjalani. Kau tak sampai merobek bajumu, atau mencukur rambutmu, bahkan, kau tetap tetap tersenyum ketika tiap orang menyapamu. Doaku kan slalu menyertaimu, Haira.
Seringkali, yang paling mencintai kita tak menjadi yang paling kita cintai dan mungkin pernah, yang paling kita cintai, membuat hati kita bagai dirajam duri.
Bulan Kesepuluh Tahun 2010
Haira menerima tawaran ta’aruf. Proses tukar menukar data berlangsung dengan lancar. Kedua belah pihak sudah menyatakan kemantapannya. Haira nampaknya begitu bahagia ketika nama sang ikhwan: ISLAMI. “Nama yang Islami, dapat menunjukkan backgound keluarga, Ukh.” Begitu katanya. Ya, memang ada benarnya. Setiap keluarga, yang sense terhadap Islamnya kuat, peduli terhadap dakwah Islam, maka ia akan menamai anaknya dengan nama-nama yang Islami, walaupun mungkin ada yang dimodifikasi. Ah, aku turut bahagia, Haira. Dari ceritamu, nampaknya kau bertambah mantap, Haira. Apalagi background keluarga sang ikhwan sama dengan background keluargamu. Agama sang ikhwan juga sesuai dengan harapanmu.
“Bagaimana kemarin nazharmu, Haira?” Tanyaku, penuh ingin tahu.
“Alhamdulillah, lancar. Insya Allah, kami akan memutuskan hasilnya esok Sabtu.“ Jawab Haira santai. Senyumnya yang selalu tersungging dari bibirnya menggambarkan hatinya yang tengah berbunga-bunga.
“Anti sendiri bagaimana? Sudah mantap?” tanyaku memastikan.
“Kalau ana sendiri sudah mantap, tapi ana perlu mengkomunikasikannya dengan Allah. Ana tidak ingin menyesal, karena pernikahan tidak untuk satu hari dua hari, tapi harapannya seumur hidup sekali. Apapun keputusan Allah, ana yakin, itu yang terbaik bagi ana. “ Jawab Haira bijak.
Haira, walaupun ia sendiri merasa mantap, ia tidak mau meninggalkan komunikasi dengan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta, melalui sholat istikharah. Dewasa ini, tidak sedikit para wanita yang mengesampingkan sholat istikharah untuk memantapkan pilihan. Mereka beralasan, cukuplah kemantapan hati sebagai penunjuk jalan. Padahal hati kita sering diliputi oleh nafsu syaitan.
Sabtu adalah hari yang cukup menegangkan bagi Haira saat itu. Perasaan Haira sungguh tak karuan. Perasaan harap-harap cemas menyelimuti hatinya. Tak lama kemudian, ia mendapat sebuah sms dari sang ikhwan, melalui sang perantara, “Perasaan kecewa dan galau terkadang mengusik. Itulah ulah syaitan yang senantiasa menggoda manusia untuk tidak menerima takdir-Nya. Karena berbagai pertimbangan keluarga, mungkin perjodohan kita urung untuk dilanjutkan, dan hanya sampai di sini. Terima kasih atas silaturakhim yang selama ini terbangun diantara kita.“
Jangan kau kira cinta datang dari keakraban dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah putera dari kecocokan jiwa. Dan jikalau itu tiada, cinta takkan pernah tercipta, dalam hitungan tahun, bahkan millenia. (Kahlil Gibran)10
♥♥♥
Bulan Ke- Sebelas Tahun 2010
“Ana ditawari seorang ikhwan , Ukh.” Haira mengawali cerita di suatu pagi.
“Ia menawari Ana untuk ta’aruf dengan seorang ikhwan, dan dari data singkat ikhwan yang Ana dapatkan itu, nampaknya kriteria suami yang selama ini Ana impikan, ada padanya.” Wajah Haira kelihatan semakin sumringah. Senyum itu kian melebar, dan matanya semakin berbinar. Ah, Haira, nampaknya pagi ini menjadi pagi yang sangat indah bagimu.“Tanpa Ana duga, tiba-tiba ada Ummahat11 yang menghubungi Ana, padahal sudah lama kami tidak berkomunikasi.“ Matanya berbinar, wajahnya memerah, dan senyum tersungging dari sudut bibirnya. Nampaknya ia sangat berbahagia.
“Ia menawari Ana untuk ta’aruf dengan seorang ikhwan, dan dari data singkat ikhwan yang Ana dapatkan itu, nampaknya kriteria suami yang selama ini Ana impikan, ada padanya.” Wajah Haira kelihatan semakin sumringah. Senyum itu kian melebar, dan matanya semakin berbinar. Ah, Haira, nampaknya pagi ini menjadi pagi yang sangat indah bagimu.“Tanpa Ana duga, tiba-tiba ada Ummahat11 yang menghubungi Ana, padahal sudah lama kami tidak berkomunikasi.“ Matanya berbinar, wajahnya memerah, dan senyum tersungging dari sudut bibirnya. Nampaknya ia sangat berbahagia.
“Anti menerima tawaran itu?” Tanyaku memastikan.
“Iya, Ukh. Ana langsung menerima tawaran itu.”
Haira, sungguh aku bahagia mendengar beritamu ini.
“Baarokallahufiik, Ma’akinnajah, Ukhti.12 Ku tunggu berita bahagiamu, lho.” Timpalku turut berbahagia.
“Amiin. Wa Fiiki Baarokallah. 13 Iya, Ukh. Doakan Ana, mudah-mudahan ini yang terbaik buat Ana, dan mengantarkan Ana ke pelaminan.”
Haira bukanlah seorang gadis seperti gadis kebanyakan yang menempuh jalan pacaran untuk mendapat pasangan. Ya, ia seorang gadis shalihah yang selalu berusaha ingin menjaga agamanya, ia ingin menjemput sang arjuna dengan cara yang diridhoi-Nya. Keinginan yang kian terpendam dan ingin segera ia luapkan, membuat ia tak henti berdoa agar segera dipertemukan dengan sang arjuna. Aku masih teringat akan kata-katanya, “ Kalau kita tidak mau mencoba ta’aruf, bagaimana mungkin kita tahu ia jodoh kita atau bukan. Kalau kita ta’aruf, kita akan tahu. Jika berhasil, berarti jodoh. Kalau belum berhasil, berarti belum jodoh. Iya, kan?!”
Aku tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya. Mungkin baru sekali atau dua kali saja gagal, apalagi jika kegagalan itu karena penolakan dari sang ikhwan, mungkin aku akan merasa trauma untuk berta’aruf lagi, apalagi jika sampai mencapai level ke-sepuluh atau melebihi itu. Ah, mungkin hidup ini akan nampak gelap di mataku. Hidup segan, mati tak mau. Akankah aku masih kuat menjalani hidup ini, apalagi sampai menoreh prestasi, sebagaimana Haira. Dengan luka yang menggores hatinya, dengan kesedihan yang mendalam yang terpancar dari wajahnya, Haira masih aktif dan bersemangat menjalani aktivitasnya. Aku yakin, Allah tidak akan memberi beban kepada para hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Dan aku yakin, Haira adalah wanita pilihan yang telah dipilih-Nya untuk menjalani ini semua. Inilah jalan para pejuang cinta, yang tak mengenal lelah untuk menemukan belahan jiwanya. Yang tak pernah lelah menempuh jalan yang hak untuk mencapai pernikahan barakah yang diridoi-Nya.
“Alhamdulillah, Ukh. Kami sama-sama mantap. Dan Insya Allah kami akan melangsungkan akad nikah tanggal 17. Mohon doanya, ya Ukh..” Haira memberikan kabar gembira kepadaku, di tengah bulan sebelas tahun 2010. Ah, Haira, aakhirnya dia menemukan arjunanya.
Comments
Post a Comment